• Home
  • Infomina
  • Promosikan di Medsos, Penjualan Udang Vaname di Kabupaten Probolinggo Kembali Terdongkrak

Promosikan di Medsos, Penjualan Udang Vaname di Kabupaten Probolinggo Kembali Terdongkrak

| Fri, 08 Oct 2021 - 13:52

Pandemi covid ini banyak berdampak pada berbagai sektor, terutama sektor perdagangan. Salah satunya seperti yang dialami oleh H. Said (50) warga Desa Randutatah Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Usaha udang vaname miliknya dibandrol murah. Bahkan nyaris tak laku di pasar setempat. Berkat media sosial (medsos) penjualan udang tersebut kembali tembus pasar dengan harga di atas awan.


Ketika dikunjungi di kediamannya, pada Rabu (6/10/2021), H. Said tengah berada di tambak udang miliknya. Dengan mengenakan sarung dan kopyah, ia nampak asyik memberi pakan budidaya udang vaname miliknya.


Saat itu, wajahnya tampak sumringah ketika ditemui. Sapaannya yang akrab langsung menunjukkan usaha udang vaname miliknya yang kini sudah terjual hingga luar daerah. Tentu saja, senyumnya yang lebar di bibirnya itu menyimpan sebuah kenangan menarik yang akan segera ia ceritakan. Kenangan itu berupa perjalannya sebelum penjualan udangnya naik daun.




Di salah satu gubuk kecil samping tambak tersebut, H. Said mulai menceritakan pengalamannya.


Sejak pandemi merebak di tanah air, berbagai usaha mulai goyah, termasuk usaha udang miliknya. Harga jual udang vaname itu semakin turun. Tempat pasokan udang yang biasa ia kirimkan setiap panen, justru tak bisa menerima lagi. Alasannya, peminat udang di pasaran mulai berkurang. Harganya pun dibandrol murah, sekitar Rp. 25 ribu per kilogramnya.


Yuk, ikuti juga: Kompetisi LensaMina, Membuka Cakrawala Akuakultur Indonesia


Angka itu, tentu membuat H. Said tak bisa berkedip. Sebab, harga jual tersebut tak akan bisa mengembalikan biaya modalnya yang cukup besar.


Lantas ia mencoba mencari tempat lain yang dapat membeli udang miliknya dengan harga wajar. Namun, usaha itu tetap tak membuahkan hasil. Dengan terpaksa, H. Said menjual udang-udang miliknya dengan harga terpaksa, sekitar Rp. 25 ribu per kilogramnya.


Harga itu tak dapat sepenuhnya mengembalikan biaya modal produksi. Sebab, setiap produksi udang di sepetak tambak miliknya bisa menelan biaya hingga Rp. 300 juta, termasuk dengan biaya pakan yang mulai mahal.


Pada panen pertama di masa pandemi itu, H. Said merasa rugi besar. Ia harus mengembalikan modal produksi yang pinjam pada salah satu bank.


Namun, keadaan itu tak membuat dirinya harus mundur begitu saja. Ia coba untuk konsultasi pada sejumlah teman dan kerabat dekatnya. Banyak dari mereka yang menyarankan untuk mempromosikan pada medsos. Seperti Facebook, Instagram dan platform medsos lainnya.


H. Said yang berusia senja, cukup kesulitan untuk mempelajari digital tersebut. Sehingga ia meminta pada salah satu anak buahnya untuk melakukan promosi di platform media sosial. Berbagai foto dan harga ditayangkan dalam akun Facebook milik salah satu pekerjanya.


Sepekan hingga dua pekan berlalu, akhirnya ada salah satu customer yang tertarik untuk membeli udang vaname tersebut sebanyak 20 kilogram. H. Said pun segera mengantarkan pesanan tersebut ke tempat yang diinginkan pembelinya.


Dari pesanan pertama itu, usaha H. Said mulai menggeliat. Pesanan dari berbagai daerah tetangga mulai datang bertubi-tubi. Harga yang dibandrol saat itu lebih murah dengan harga pasaran. Sehingga banyak pembeli yang lebih memilih memesan milik H. Said.


Kali ini, harga udang vaname dengan size 100 dibandrol dengan harga sampai Rp. 70 - 100 ribu per kilogramnya. Kebetulan harga udang di pasaran sudah mulai kembali normal.


"Sekarang harga udang vaname, sekitar Rp. 70 ribu hingga Rp. 100 ribu. Dulu sempat pada bulan Mei, harganya anjlok sekitar Rp. 40 ribu per kilogram,” ungkapnya.


Said yakin, dengan harga udang saat ini mampu menutupi kerugiannya pada musim panen sebelumnya. Sebab, biaya produksi udang dalam satu petaknya, bisa memakan biaya hingga Rp. 300 juta. “Tapi kalau harga udang dibawa Rp. 50 ribu. Seperti bulan lalu. Nggak bakal balik modal,” ucapnya.


Namun, dengan bantuan media sosial ini, dirinya bisa menjual udang hingga keluar daerah dengan harga yang lebih mahal dari pada sekitar rumahnya sendiri. Tentu keuntungan yang didapatkan juga lebih banyak.


Dalam satu petak tambak udang miliknya, bisa memproduksi udang hingga 3-4. Namun, jumlah itu dilakukan dengan beberapa tahap panen dalam satu musim.


"Alhamdulillah, saat ini penghasilan bersih dari penjualan melalui media sosial dan non digital sekitar Rp. 150 juta. Angka itu sudah di luar dari biaya modal," ujar H. Said disusul siluet senyum di bibirnya.


Kata dia, biaya terbesar dalam produksi udang miliknya, terdapat pada kebutuhan pakan udang. Beruntung saja, harga pakan itu masih normal. “Kalau pakan udang ikut naik. Bisa kecolongan nanti. Pasti sulit bisa balik modal,” paparnya.

---


Penulis: Abdul Jalil

Profesi: Wartawan

Instansi: Ikilhojatim.com


Artikel lainnya