• Home
  • Infomina
  • Probiotik RICA, ‘Makhluk Halus’ Penyelamat Tambak di Pangkep

Probiotik RICA, ‘Makhluk Halus’ Penyelamat Tambak di Pangkep

| Tue, 26 Apr 2022 - 10:50

Iwan Daeng Pabbungan dan Abdul Salam duduk di dekat sebuah panci besar seukuran 50 liter. Sesekali, secara bergantian, mereka mengaduk isi panci. Api dari kompor gas telah menyala beberapa hari. Gelembung-gelembung kecil terlihat dari dalam panci yang berisi cairan berwarna coklat.


“Kami sedang kultur RICA, ini butuh 4-5 hari dipanaskan sebelum bisa digunakan,” ujar Iwan ketika ditemui Mongabay, awal September 2021 lalu. Tak jauh dari panci tersebut berserakan sejumlah botol plastik beragam warna berisi cairan coklat di dalamnya berukuran 400 ml. Tertulis di label botol itu: RICA.


Iwan dan Abdul Salam adalah petambak di Desa Kanaungan, Kecamatan Labbakang, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, yang sedang berikhtiar memperbaiki tambaknya. Belasan petak tambak di sekitar tempat tersebut sempat terbengkalai karena kurang produktif. Namun dua tahun terakhir mereka memiliki harapan. Sebuah kelompok tani yang dibentuk diberi nama Penaeus monodon, yang berasal dari nama latin udang windu, membuat mereka bersemangat kembali.


Tambak di sejumlah daerah di Sulsel memang sedang bermasalah, apalagi untuk udang windu. Mortalitas tinggi membuat petambak takut budidaya. Tambak pun hanya diisi udang vaname atau bandeng. Windu lebih prospektif karena harga lebih bagus dan masa panen lebih singkat, namun trauma kegagalan panen membuat mereka memilih komoditas lain. Bandeng juga bisa menghasilkan banyak keuntungan namun butuh modal besar dan masa panen yang lebih lama.


Baca juga: Alasan KKP Minta Pembudidaya Ikan Gunakan Produk Hasil Riset Probiotik RICA


Harapan akan kembalinya windu muncul ketika pihak Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau dan Penyuluhan Perikanan (BRPBAP3) Maros Sulawesi Selatan menawarkan pendekatan baru dalam budidaya melalui penggunaan probiotik yang produknya dinamakan RICA, singkatan dari Research Institute of Coastal Aquaculture. Sudah ada hasil terlihat, sehingga menambah antusiasme petambak.


“Kalau windu dapat hasil 50 persen itu sudah lumayan. Biasa disebar sekitar 9 ribu bibit, kalau bisa dapat setengahnya kita sangat bersyukur sekali. Kemarin setelah penggunaan RICA ini sudah bisa panen 80 kg sudah sangat luar biasa, jadi bersemangat lagi,” kata Iwan.


Tambak yang diberi probiotik RICA milik Iwan dan Salam sendiri masih dalam masa pengujian dari BRPBAP3. Dari 13 petak tambak yang ada di lokasi itu tak semua menghasilkan panen yang bagus.


Iwan menduga penyebabnya adalah tingginya kadar pestisida kimiawi di dalam tambak yang bisa menghalangi pertumbuhan mikroorganisme yang dibawa probiotik RICA tersebut.


Menurut peneliti BRPBAP3 Maros Muharjadi Atmomarsono, pemberian probiotik RICA ini adalah bagian dari rekayasa ekosistem agar produktivitas tambak tetap lestari.


Baca juga: Probiotik Meningkatkan Kualitas Air Tambak


“Ini dilakukan karena adanya kondisi yang tidak memungkinkan bagi udang maupun ikan untuk tumbuh maksimal seperti di habitat aslinya. Lantas dilakukan berbagai hal untuk meningkatkan efisiensi dan mendapatkan hasil yang optimal,” katanya, sebagaimana dikutip dari situs resmi BRPBAP3 Maros.


Sehingga, tambahnya, pembudidaya pun harus melakukan beberapa perubahan sehingga memenuhi daya dukung untuk mendapatkan hasil yang optimal tersebut. Salah satu cara yang dilakukan adalah aplikasi ‘makhluk halus’ berupa bakteri probiotik.


Tujuan aplikasi probiotik di tambak adalah untuk bioremediasi yakni penggunaan mikroorganisme untuk mengurangi polutan di lingkungan.


“Pada umumnya probiotik digunakan untuk mengatasi toksin yang diproduksi selama proses budidaya. Sisa pakan, feses, jasad renik yang mati, dan lainnya akan berakumulasi di dasar tambak dan sebagian terlarut dalam air. Jika dibiarkan maka keseimbangan ekosistem terganggu dan hasil produksi tidak akan maksimal,” kata Muharjadi


Probiotik RICA dihasilkan dari mikroba non-patogenik yang secara alami ada dalam lingkungan di air dan dalam tubuh ikan yang bekerja dengan proses bioremediasi, biokontrol saluran cerna, serta sebagai penyaring bakteri patogen, antara lain bakteri Bacillus subtillis, Lactobacillus, Nitrosomonas, dan Nitrobacter.


Baca juga: Aplikasi Probiotik (Bacillus dan Pseudomonas) dalam Budidaya Udang Vanname (Litopenaeus vannamei)


Probiotik sendiri mengandung bakteri hidup atau spora sehingga peredarannya harus diatur agar bakteri yang dikultur adalah betul-betul bakteri yang tidak patogen dan tidak terkontaminasi oleh bakteri patogen yang berbahaya bagi lingkungan tambak.


Bakteri non-patogen yang terdapat dalam probiotik akan mengurai bahan beracun menjadi tidak berbahaya bagi udang dan ikan.


“Penggunaan probiotik juga ditujukan sebagai biokontrol dalam sistem pencernaan udang dan ikan, hal ini sejalan dengan pemikiran bahwa bakteri non-patogen dapat membantu mencerna pakan lebih cepat dan mudah untuk diserap ke dalam tubuh,” jelas kata Muharjadi.


Probiotik RICA sudah diuji coba di sejumlah petakan tambak udang di Kabupaten Pinrang sejak 2010 silam. Hingga kini ada sekitar 100 hektare lahan tambak yang dikelola oleh 80 orang pembudidaya sudah menerapkan probiotik RICA. Produksi udang windu  mencapai 120 kg/ha/siklus. Sebelumnya hanya mampu capai 50-75 kg/ha/siklus.


Peran Sekolah Lapang

Iwan dan anggota kelompok Panaeos monodon lainnya tampaknya sudah sangat paham membuat dan aplikasi kultur RICA ini. Semua prosesnya mereka lakukan secara bergantian. Hasilnya pun digunakan bersama. Kelebihan hasil kultur ini bahkan mereka bagikan ke petambak lain secara gratis, meski pembuatan kultur ini butuh biaya yang tak sedikit.


Baca juga: Kiat ”Murah” Aplikasi Probiotik


“Semua anggota sudah bisa membuat kultur ini sendiri, ilmunya selain diperoleh dari balai penelitian, juga hasil dari sekolah lapang yang dilakukan Oxfam beberapa tahun lalu,” katanya.


Menurut Iwan, salah satu kunci kesuksesan penggunaan probiotik RICA ini apabila tambak dijauhkan dari penggunaan pestisida kimiawi. Ia mengakui sudah lama meninggalkan bahan-bahan kimiawi untuk pestisida dan menggantinya dengan saponen dan kaporit.


“Dulu di sekolah lapang Oxfam itu membuka mata kita bagaimana bahaya penggunaan pestisida kimiawi bagi tambak. Begitu pun dengan penggunaan pupuk yang tak boleh berlebihan.”


Sekolah Lapang (SL) yang dimaksud adalah program Restoring Coastal Livelihood (RCL) yang dilakukan Oxfam bekerjasama dengan Mangrove Action Project atau MAP yang kini berganti nama menjadi Blue Forests atau Yayasan Hutan Biru.


“Dulunya kita bertambak pengetahuan masih rendah, hanya melihat saja. Setelah sekolah kami bisa mengenal takaran-takaran aplikasi saponen, pupuk tidak berlebihan. Begitupun dengan cara kultur ini dipelajari di SL. Kini malah saya bisa mengajari petambak-petambak lain,” ungkap Abdul Salam.


Baca juga: Penggunaan Probiotik dalam Budidaya Udang


Menurut Hasanuddin, penyuluh dari Dinas Perikanan Pangkep, pengetahuan, sikap dan perilaku petambak memang akan sangat menentukan hasil tambak mereka dan itu hanya bisa dibentuk jika mereka ditingkatkan kapasitasnya dan diberi contoh langsung.


“Sama dengan petani, otak petambak itu ada di mata, kalau mereka melihat langsung hasil sebuah pembelajaran, bukan sekedar disampaikan ceramah atau teori, maka akan lebih mudah menerima. Butuh pendekatan khusus untuk mereka seperti misalnya melalui sekolah lapang yang lebih interaktif dan belajar langsung di lapangan,” katanya.


Dari sekolah lapang juga mereka belajar tentang kualitas air tanpa menggunakan bahan kimia, cara membuat pupuk kompos, dan pupuk cair mikroorganisme lokal (MOL) dan tidak bergantung pada pupuk pabrikan.


“Intinya di sekolah lapang itu ada pembelajaran bahwa kalau kita sendiri yang bikin kompos dan MOL nya, kita sudah tahu pasti bahannya. Kalau yang dibeli belum tentu. Kita bisa juga ukur ini yang mau saya gunakan, kalau bahan pabrikan bisa jadi labelnya seperti itu tetapi apakah memang betul seperti itu isinya kita tidak tahu.”


Artikel ini pertama kali dipublikasikan oleh Mongabay. Ketepatan informasi dan efektivitas metode budidaya yang terkandung di dalamnya bukan tanggung jawab Minapoli.



Artikel lainnya