Outlook Penyakit Ikan dan Udang 2019

| Fri, 07 Dec 2018 - 14:46

Diawali dengan penandatanganan MoU antara Info Akuakultur dan Himpunan Perekayasa Indonesia (HIMPERINDO), oleh Pemimpin Redaksi, Ir. Bambang Soeharno dan Ketua Himperindo, Dr. I Nyoman Jujur.  Untuk Publikasi Dan Penyebaran Inovasi Teknologi Hasil  Kerekayasaan budidaya perikanan, Seminar Nasional Outloock Penyakit Ikan dan Udang 2019 digelar di Ruang Lawu 2, Gedung Pusat Niaga, Jakarta International Expo, Jakarta (29/11).

Acara tahunan yang dilaksanakan atas kerjasama Info Akuakultur dan INFHEM ini dihadir para pembicara diantaranya Guru Besar FPIK UNDIP, Prof. Dr. Slamet Budi Prayitno, M.Sc, selanjutnya Head of Animal Health Service PT. Central Proteina Prima, Dr. Heny Budi Utari, M.Kes, kemudian dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yaitu Dr. rer. Nat. Rahmania Admirasari, M.Sc dan Ir. Heru Dwi Wahyono, M.Kom.

Sambutan sekaligus jalannya acara ini dimoderatori oleh Ketua Indonesia Network on Fish Health Management (Infhem), Ir. Maskur, M.Si. Peserta yang hadir dari berbagai kalangan tidak kurang dari 100 Orang, diantaranya terdiri dari perusahaan swasta, pemerintah, universitas, dan seluruh stakeholder perikanan yang ada di Indonesia.

Prof. Dr. Ir. Slamet Budi Prayitno, MSc, menjelaskan outlook penyakit ikan dan udang 2019. Penyakit ikan dan udang menjadi sangat penting dengan adanya intensifikasi budidaya dan aktifitas manusia. Penyakit infeksi dan non-infeksi dapat menyebabkan kematian ikan sampai 100% dalam waktu kurang dari 5 hari. “Puncaknya, usaha budidaya bisa colaps seperti di era 90a-an penyakit yang menyerang udang windu dan EMS pada tahun 2013,” ujarnya.

Untuk sukses dalam budidaya, kata Budi, pasca panen dan rantai tata niaga sangat dipengaruhi oleh penerapan biosekuriti, higienis, akses dan sistem tata niaga. “Untuk penyakit ikan 2019 berangkat dari tahun 2018, akan berdampak buruk jika penanggulangan di tahun sebelumnya kurang baik,” jelas Budi.



Ancaman penyakit ikan masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya seperti upwelling di keramba jaring apung (KJA), Tilv, khv, masih bisa terjadi. Sedangkan di tambak, wfd, wssv, dan imnv juga masih bisa terjadi. Dr. Heny Budi Utari, M.Kes, menjelaskan perkembangan penyakit udang di Indonesia. lanjutnya, penyebab kerugian ekonomi di sektor perudangan wilayah Asia dan Indo Pasific setidaknya terjadi sebab empat penyakit utama Virus (WSSV, IMNV, IHHNV, TSV dan SIHV), Bakteri (AHPND dan Vibrio sp), Parasit (Microsporidia dan Haplosporidia) dan Penyakit non-infeksi (Insang hitam, Toksik plankton, kram otot, dll).

Penyakit udang yang disebabkan oleh virus seperti merupakan momok utama petambak udang di Indonesia. “Perkembangan penyakit udang di Indonesia seperti Mio masih akan menjadi kendala udang di Indonesia. WFD dan Mio masih banyak merebak di Indonesia dan harus bisa ditangani dengan baik,” jelas Heny.

Penyebaran Mio di Indonesia, di awali dari Jawa Timur Situbondo, kemudian menyebar karena banyak petambak yang mencari benur murah yang tidak jelas kelayakannya sehingga terjadi penyebaran. Hingga di tahun 2008 area Bali dan Lombok positif,  sampai Lampung, Bangka, dan daerah lainnya.

Bahkan, ungkap Heny, werus atau ebi yang ada di Indonesia sebagian sudah positif WSSV. Hubungan suhu dan infeksi WSSV erat kaitannya, udang dalam tambak yang bersuhu 33 derajat yang dipindahkan ke suhu 27 derajat akan langsung drop. “Menurut Heny, suhu 25-27 derajat adalah suhu favorit WSSV,” ujar Heny.

Pelajaran dari yang sudah terjadi, petambak harus melakukan eliminer potential carries yang sering diabaikan. Penting untuk memasang saringan 200 micron untuk cegah telur kepiting dan ikan (50-500 micron), karena itu merupakan sumber utama masuknya carriers WSSV ke petak tambak.

“Kuncinya adalah waspada dengan kondisi petak, jangan membiarkan plankton drop karena sama saja culture hibrio. udang mati tidak dibuang akan menjadi bahan makanan hibrio. intinya semua pelaku budidaya harus meningkatkan biosekuriti.,” pungkas Heny.


Di sektor pakan, Dr. rer. Nat. Rahmania Admirasari, M.Sc menjelaskan tentang pengembangan microalgae dalam mendukung industri akuakultur, dimana  penggunaan alga perlu dikembangkan untuk sumber pakan ikan dan udang. Aplikasi dari alga banyak sekali, bukan hanya di sektor akuakultur saja tapi juga bisa jadi bahan bio diesel.

Alga bisa menjadi basic food akuakultur. Sebab, kata Rahmania, kandungan energi yang tinggi atau bahkan tertinggi. Serta penggunaan micro algae perlu dikembangkan untuk sumber pakan ikan.

Ir. Heru Dwi Wahyono, M.Kom., menjelaskan pengembangan monitoring kualitas air dengan system online untuk mendukung industri akuakultur. Dimana teknologi digital untuk monitoring kualitas air perlu disederhanakan agar sesuai dengan kondisi  perikanan  indonesia.

Sumber : http://infoakuakultur.com/blog/outlook-penyakit-ikan-dan-udang-2019/

 

Artikel lainnya