Tantangan Besar Mewujudkan Budidaya Abalon

| Tue, 16 Feb 2021 - 13:34

Nama kerang Abalon (Haliotis) masih belum bisa menempati posisi puncak popularitas di Indonesia hingga saat ini. Biota laut tersebut masih kalah populer dibandingkan nama-nama lain seperti Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Brachyura), ataupun Tuna, Cakalang, dan Tongkol (TCT).


Walau sama-sama berharga mahal, namun Abalon sampai saat ini masih menjadi komoditas untuk kalangan terbatas dengan tingkat ekonomi yang masuk golongan atas. Dalam seporsi Abalon yang sudah dimasak, harganya bisa mencapai kisaran Rp1 juta.


Mengingat potensi besar untuk perekonomian nasional, Pemerintah Indonesia mendorong pemanfaatan Abalon dilakukan melalui cara budi daya. Dorongan itu muncul, karena selama ini Abalon diperjualbelikan dengan cara mengambil langsung dari alam.


Direktur Jenderal Perikanan Budi daya Kementerian Kelautan dan Perikanan (DJPB KKP) Slamet Soebjakto mengatakan, sebagai biota laut yang bernilai ekonomi tinggi, Abalon mendapatkan perhatian yang tinggi dari masyarakat pesisir di seluruh Indonesia.


Hewan laut tersebut, tidak hanya dimanfaatkan dengan cara dimakan langsung, namun juga dijual di pasar lokal yang berdekatan dengan kawasan pesisir. Selain itu, Abalon juga menjadi komoditas ekspor yang dikirim ke sejumlah negara di Asia, Eropa, dan Amerika Serikat.


Baca juga : Melongok Suksesnya Pengembangan Benih Abalon di Perairan Bali


Kementerian Kelautan dan Perikanan mendorong pengembangan budi daya abalon untuk mencari teknologi yang tepat dan mudah diterapkan. Foto : KKP


Akan tetapi, walau sudah menjadi komoditas yang dimanfaatkan sejak lama, namun hingga sekarang pemanfaatan dengan cara budi daya masih dianggap sebagai cara yang baru. Untuk itu, diperlukan sentuhan inovasi teknologi yang harus terus dikembangkan, untuk mengejar produksi melalui budi daya.


“Pengembangan budi daya Abalon masih sangat potensial dilakukan di Indonesia, mengingat perairan laut kita masih sangat luas dan cocok,” ungkap Slamet Soebjakto belum lama ini.


Menurut dia, budi daya Abalon dapat memberikan alternatif atau tambahan penghasilan bagi masyarakat dan sekaligus memberikan dampak positif secara ekologi. Hal itu bisa terjadi, karena dengan budi daya, tidak akan lagi terjadi eksploitasi sumber daya Abalon di alam.


Untuk melaksanakan pengembangan budi daya Abalon, KKP menunjuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPUI2K) Karangasem, Bali. Melalui prosesnya, teknik pembenihan dan pengembangan teknologi budi daya Abalon akhirnya berhasil dilakukan.


“Dalam pengembangan budi daya Abalon, perlu diperhatikan kelayakan lokasi untuk budi dayanya, berdasarkan kondisi fisik perairan, kondisi kimia, dan akses ke lokasi budi daya,” terang dia.


Baca juga : Teknik Budidaya Abalon Ramah Lingkungan


Teknologi


Hal lainnya yang juga perlu untuk diperhatikan, adalah keamanan dan perlindungan perairan untuk membangun konstruksi budi daya. Kemudian, aksesibilitas yang mudah dijangkau dan keamanan yang terjamin menuju lokasi budi daya, juga menjadi hal yang tidak boleh dilupakan.


“Dan perlu dicatat, perairan harus bebas dari pencemaran, buangan industri, limbah pertanian ataupun limbah rumah tangga,” tambah dia.


Jika semua hal yang harus diperhatikan tersebut dilaksanakan, maka budi daya Abalon diyakini akan bisa ikut mendorong kesejahteraan masyarakat pesisir, karena akan terjadi peningkatan pendapatan ekonomi bagi para pembudi daya Abalon dan nelayan.


Untuk melaksanakannya, Slamet menyebut kalau budi daya Abalon bisa dilakukan dengan menerapkan sistem keramba jaring apung (KJA), jaring tancap, atau menggunakan keranjang-keranjang plastik yang sudah diberikan bahan pelindung (shelter).


Agar proses budi daya bisa lancar, KKP terus melakukan inovasi teknologi untuk pengembangan budi daya Abalon, termasuk untuk pengembangan pembenihan, pendederan, dan pembesaran. Proses penciptaan inovasi dilakukan, agar teknologi budi daya Abalon mudah dilaksanakan oleh masyarakat.


Jika teknologi untuk melaksanakan budi daya Abalon sudah efisien dan gampang untuk diterapkan oleh masyarakat, Slamet meyakini kalau budi daya komoditas tersebut akan semakin diminati. Dengan teknologi yang mudah, Abalon juga bisa mendatangkan rupiah yang tidak sedikit.


Tambahan lagi, budi daya Abalon diyakini akan semakin diminati masyarakat, karena teknologinya tergolong ramah lingkungan dan tidak mencemari lingkungan sekitarnya. Semua itu bisa terjadi, karena tidak ada penggunaan bahan kimia untuk teknologi budi daya Abalon.


“Hanya menggunakan mikroalga maupun makroalga sebagai pakan pada proses budi dayanya,” jelas dia.


Baca juga : Sistem Bioflok, Teknologi Budidaya Baru untuk Ikan Nila


Anakan kerang abalone (Haliotis squamata) yang dilepas untuk restocking perairan Pantai Mengening, Desa Cemagi, Mengwi, Badung, Bali pada Rabu (19/04/2017). Foto : Luh De Suriyani

 

Kepala BPUI2K Karangasem Winarno, pada kesempatan berbeda menjelaskan bahwa proses pemijahan Abalon dilakukan setiap bulan dengan menggunakan metode penjenuhan oksigen. Untuk satu periode pemijahan yang dilakukan di BPUI2K Karangasem, dapat menghasilkan 2-3 juta trokofor.


Trokofor sendiri tidak lain adalah jenis larva planktonik yang berenang bebas dengan beberapa baris silia. Dengan menggerakkan silia mereka yang cepat, sebuah pusaran air dibuat. Dengan cara ini mereka mengendalikan arah gerakan mereka.


Sementara, untuk pemeliharaan induk Abalon, Winarno mengatakan bahwa itu dilakukan dalam bak fiber berkapasitas 1.500 liter yang di dalamnya sudah ada pelindung yang memakai sistem air mengalir. Setiap bak kemudian diisi 150 ekor induk Abalon dan diberikan pakan berupa rumput laut yang selalu tersedia.


“Pemeliharaan induk Abalon dilakukan sampai matang gonad (organ reproduksi yang menghasilkan sel kelamin) dan siap dipijahkan,” jelas dia.


Untuk pemeliharaan larva, itu dilakukan pada bak beton yang diberi sirkulasi air dan aerasi dengan pengaturan kecil. Kemudian, selama prosesnya diberikan pakan berupa bentik diatom. Larva Abalon dipelihara selama dua bulan hingga larva berubah menjadi benih berukuran satu sentimeter.



Kementerian Kelautan dan Perikanan mendorong pengembangan budi daya abalon untuk mencari teknologi yang tepat dan mudah diterapkan. Foto : KKP

Proses


Lebih jauh Slamet menerangkan, untuk menghindari proses persaingan makanan, maka proses penyortiran (grading) untuk menyeragamkan ukuran perlu dilakukan hingga empat kali dalam sebulan, yaitu saat berukuran 2 cm (3 bulan), 3 cm (4 bulan), 4 cm (5 bulan) dan 5 cm (kurang dari 6 bulan).


Khusus untuk manajemen pakan, itu dilakukan sesuai umur Abalon yang dipelihara. Untuk umur satu bulan itu diberikan pakan berupa plankton jenis diatom dosis 1 juta sel per ml. Lalu, untuk umur dua bulan diberikan pakan berupa rumput laut jenis ulva dan gracilaria.


“Hasil produksi benih Abalon yang berasal dari BPIU2K Karangasem didistribusikan ke beberapa daerah seperti Bali, Pulau Seribu, Bogor, Yogyakarta serta daerah lainnya di Indonesia,” papar dia.


Untuk penggunaan benih Abalon yang dulunya hanya terbatas untuk kegiatan penelitian dan menunjang kegiatan restocking, saat ini sudah dapat dibudidayakan oleh kelompok nelayan atau pembudidaya dengan menggunakan sistem jaring tancap maupun KJA.


Peneliti dari Balai Penelitian Teknologi Bahan Alam Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (BPBTA LIPI) Dwi Eny Djoko Setyono pada kesempatan sebelumnya menyebutkan kalau Indonesia memiliki banyak perairan pantai yang cocok untuk menjadi habitat Abalon.


Baca juga: KKP Serahkan Bantuan dan Lepasliarkan 15.000 Benih Kakap di Pantai Bentar Kab. Probolinggo


Menurut dia, ada lebih dari 100 jenis Abalon yang tersebar di dunia, dengan tujuh jenis di antaranya adalah Abalon yang bisa ditemukan di perairan Indonesia. Dari tujuh yang ada, baru jenis Mata Tujuh (Haliotis asinina) dan Kaki Kuning (Haliotis squamata) yang sudah dipelajari dan dibudidayakan.


Abalon sendiri termasuk jenis gastropoda laut yang bernilai ekonomi penting, karena nilai jual dagingnya yang tinggi untuk pasar ekspor. Namun, akibat dari tingginya nilai jual tersebut, populasi Abalon tropis di beberapa wilayah perairan Indonesia disinyalir telah dipanen secara intensif .


“Dan telah mengalami tangkap yang berlebihan atau over fishing,” ucap peneliti bidang oseanografi terapan, khususnya bidang penelitian biologi laut dan marikultur itu menegaskan.


Saat ini, upaya untuk melaksanakan budi daya Abalon sudah dilakukan di Indonesia, baik oleh Pemerintah maupun swasta. Namun demikian, karena kendala minimnya informasi dan pengetahuan dasar tentang aspek-aspek biologi dan budi daya Abalon, usaha tersebut belum berkembang seperti yang diharapkan.


Sumber: Mongabay.co.id



Artikel lainnya