Membidik Peluang Pasar Udang

| Tue, 19 Apr 2022 - 11:26

Udang Indonesia mulai merambah pasar ekspor pada pertengahan 1980-an, terutama ke Jepang dan Amerika Serikat. Sejak itu udang Indonesia selalu hadir di pasar global. Dalam lima tahun ke depan, pasar global udang diperkirakan akan terus tumbuh dengan kecepatan 4,8% per tahun. Nilai pasarnya, menurut MarketWatch, akan mencapai US$71,13 miliar pada 2027 dari US$48,65 miliar pada 2020.


Tahun lalu, Indonesia baru mampu menyabet US$2,23 miliar yang berasal dari 250,70 ribu ton udang utuh segar dan olahan. Jika disetarakan utuh segar, ekspor udang ini mencapai 440,76 ribu ton. Saat ini posisi kita sebagai eksportir masih di bawah India, Ekuador, Vietnam, dan di atas China.


Lima tahun terakhir, negara kita baru sanggup meraih pangsa pasar rata-rata 6,56% per tahun dilihat dari sisi nilai. Bagaimana potensinya ke depan mengingat kita masih punya lahan yang potensial untuk budidaya air payau, termasuk udang, seluas 2,9 juta ha? Dari luas lahan ini, baru 18% setara 532 ribu ha yang sudah dimanfaatkan.


Soal pemasaran, petinggi Asosiasi Produsen Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) cukup optimistis. Eksportir Indonesia masih belum menggarap dengan serius pasar China, Korsel, dan Eropa Timur. Saat ini industri pengolahan udang bisa dibilang dalam posisi kekurangan bahan baku. Dari kapasitas pengolahan 550 ribu ton per tahun baru termanfaatkan 350 ribu ton. Jadi, mau tambah 150 ribu ton lagi sehingga nantinya pangsa pasar kita 8%, tidak ada masalah. “Intinya, jangan takut berproduksi, kami para pengolah siap,” begitu katanya memberi semangat.


Baca juga: FUI Sarankan Sejumlah Langkah agar Peningkatan Nilai Ekspor Udang 250 Persen Tercapai


Masalahnya, memelihara udang tak segampang menebar lele. Banyak tantangannya, baik non teknis maupun teknis. Sekadar contoh faktor non teknis adalah perizinan. Untuk membuka tambak, pembudidaya harus memenuhi 22 macam perizinan. Memang, dengan terbitnya Undang-undang Cipta Kerja ada pengurangan jumlah perizinan tetapi belum jelas betul. Pengusaha menginginkan, perizinan harus jelas dan tidak multitafsir agar investor tenang menanamkan duitnya di industri udang.


Para petambak yang sudah eksis tidak sepakat dengan persyaratan lokasi tambak harus paling dekat 200 m dari garis sempadan pantai. Mereka ingin tambak yang telah puluhan tahun berada di lokasi seperti itu tetap diizinkan beroperasi agar dapat berkontribusi terhadap produksi nasional. Tambak baru bolehlah dilarang.


Soal teknis lumayan seabrek. Mulai dari pakan yang 82% bahan bakunya impor sehingga harganya berfluktuasi tergantung nilai tukar. Pada masa pandemi Covid-19, logistik bahan baku ini mengalami hambatan lantaran kelangkaan peti kemas. Acapkali mereka terpaksa bayar biaya tambahan (demurrage) karena kapal tak bisa segera berangkat ke pelabuhan tujuan di Indonesia.


 Memang ada potensi pengganti tepung ikan sebagai bahan baku, yaitu maggot. Larva serangga black soldier fly (Hermitia illuscens) yang mengandung protein tinggi ini bisa dibudidayakan dengan pakan bungkil sawit. Para industriawan pakan tengah serius melakukan penelitian pemanfaatan bungkil ini agar dapat mengurangi ketergantungan terhadap bahan impor. Sebentar lagi bakalan siap adopsi sehingga harga pakan bisa lebih bersahabat.


Baca juga: Budidaya Tradisional-plus sebagai Jalan Pintas Peningkatan Produksi Udang Nasional


Soal lahan tambak juga tak kudu buka baru. Ada jalan lain yang diinisiasi Forum Udang Indonesia dengan menaikkan kelas tambak tradisional menjadi tradisional plus. Tambak tradisional paling banter menghasilkan 400 kg/ha/tahun. Dengan pengelolaan lebih intensif dan mengaplikasikan teknologi sederhana yang tidak mahal, produktivitasnya bisa didongkrak sampai 2 ton/ha/tahun. Ini lompatan luar biasa kalau bisa diadopsi di 300 ribu ha tambak tradisional.


 Satu hal lagi penghalang adalah penyakit. Banyak jenis penyakit akibat virus, bakteri, dan parasit yang mengancam hidup udang di tambak. Namun yang belakangan paling menyita perhatian yaitu Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease (AHPND). Penyakit ini menggerus tingkat kelangsungan hidup udang sehingga ongkos produksi membengkak. Butuh kerja sama pemerintah dan semua lini pelaku usaha udang agar tidak semakin meluas.


Penulis: Peni Sari Palupi 


Artikel ini pertama kali dipublikasikan oleh Agrina. Ketepatan informasi dan efektivitas metode budidaya yang terkandung di dalamnya bukan tanggung jawab Minapoli.

Artikel lainnya